Rilis Kajian Pemilu Serentak 2019

PEMILU SERENTAK 2019:

CATATAN KELAM DAN TRAGEDI KEMANUSIAAN

PEMILIHAN UMUM

Kilas Balik

Pemilu di Indonesia dimulai pertama kali pada tahun 1955 di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pemilu pertama ini memperebutkan 260 kursi untuk anggota DPR dan 520 kursi untuk Konstituante. Pada pemilu pertama ini, pelaksanaan antara pemilihan anggota DPR dan Konstituante tidak serentak/berbeda hari penyelenggaraan, yaitu pada 29 September 1955 untuk pemilihan DPR dan 15 Desember 1955 untuk pemilihan Konstituante.

Pemilu kedua sekaligus merupakan pemilu pertama pada era Orde Baru dilaksanakan pada 5 Juli 1971 untuk memilih DPR Pusat, DPRD Tingkat I Provinsi dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya dengan dasar baru yang digunakan adalah UU No. 15 Tahun 1969. Pemilu ketiga digelar pada 2 Mei 1977 untuk memilih DPR Pusat, DPRD Tingkat 1 Provinsi, dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya yang hanya diikuti tiga partai sebagai bentuk implementasi keinginan pemerintah dan DPR untuk menyederhanakan jumlah partai melalui UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.

Pemilu keempat sampai pemilu ketujuh Indonesia berturut-turut yang diselenggarakan pada 4 Mei 1982, 23 April 1987, 9 Juni 1992 dan 29 Mei 1997 bertujuan untuk memilih DPR Pusat, DPRD Tingkat I Provinsi dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya. Pada 7 Juni 1999, pemilu pertama sejak runtuhnya rezim Orde Baru digelar untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I Provinsi dan DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya periode 1999-2004.1 Pemilu selanjutnya pada 5 April 2004 merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat juga memilih presiden Indonesia satu periode kedepan (5 tahun). Penyelenggaraan pemilu dengan sistem seperti ini berlangsung pada pemilu yang diadakan 9 April 2009 dan 9 April 2014.

Pada pemilu 2014 dilakukan dua pemilu: pemilihan legislatif berlangsung pada 9 April untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat dan 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan para anggota DPRD Provinsi dan DPRD kota/kabupaten. Lalu para anggota DPR hasil pemilu itu mengajukan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam pemilihan presiden tiga bulan kemudian, pada 9 Juli 2014. Saat itu, Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diajukan PDIP-Nasdem-PKB-PKPI-Hanura yang menguasai 36.46% kursi DPR (208 dari 560), mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa yang diajukan Gerindra-PAN-PKS-Golkar-PPP-PBB-PD yang menguasai 63.54% kursi DPR (352 dari 560).2

Berbeda dengan 2014, pilpres yang dilaksanakan pada 17 April 2019 kemarin merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan secara serentak yang dalam sejarah Indonesia.3 Yang dipilih pada pemilu serentak 2019 adalah sepasang presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Provinsi dan 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten.4 Dengan demikian terdapat lima jenis kertas suara yang digunakan dalam sehari pemilu yakni:

  • Abu-abu: Kertas suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
  • Kuning: Kertas suara untuk memilih anggota DPR RI.
  • Merah: Kertas suara untuk memilih anggota DPD RI.
  • Biru: Kertas suara untuk memilih anggota DPRD Provinsi.
  • Hijau: Kertas suara untuk memilih DPRD Kota / Kabupaten.

Hak Rakyat

Pemilu secara konseptual merupakan sarana implementasi kedaulatan rakyat. Melalui pemilu legitimasi kekuasaan rakyat diimplementasikan mellaui penyerahan sebagian kekuasaan dan hak mereka kepada wakilnya yang ada di parlemen maupun pemerintahan.5 Di dalam tradisi demokrasi, pemilu bahkan menjadi acuan atau pra syarat untuk menyebut suatu negara sebagai sebuah negara demokrasi atau bukan.

Sebagian negara menganggap bahwa pemilu merupakan sebuah kewajiban (compulsary voting). Anggapan ini kemudian sampai dituangkan pada peraturan yang mewajibkan rakyat untuk memilih, bahkan memberikan sanksi atau denda untuk warganya yang tidak menggunakan suaranya pada Pemilu. Berdasarkan pada data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA)6, terdapat 22 negara yangmenetapkan bahwa memilih adalah kewajiban dan memberikan sanksi atau denda bagi warganya yang tidak memilih. Kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi rakyat terhadap Pemilu di masing-masing negara. Namun demikian, pada dasarnya prinsip demokrasi adalah kebebasan. Sehingga pada umumnya, negara demokrasi menempatkan pemilu sebagai hak. Sebagian besar negara memberi kebebasan rakyatnya untuk menggunakan hak suaranya atau tidak (voluntary voting).

Pemilu merupakan representasi dari filsafat Peoples Sovereignity, sumber kekuasaan pemerintahan ada di tangan rakyat. Karenanya pemilu merupakan salah satu elemen terpenting untuk merawat kedaulatan rakyat. Rakyat diletakkan sebagai titik utama yang memegang kedaulatan primer.7 Makna dari kedaulatan berada di tangan rakyat adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih wakil-wakilnya di lembaga perwakilan maupun pemerintahan. Perwujudan kedauatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu secara langsung sebagai sarana perwujudan hak rakyat. Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara. Tujuan pemilu selain daripada sebagai perwujudan kedaulatan rakyat adalah pelaksanaan hak asasi politik rakyat. Rakyat di negara demokrasi diberi jaminan oleh konstitusi untuk melaksanakan hak-hak asasi mereka yang mendasar, salah satunya adalah hak asasi politik. Instrumen hukum internasional memberikan penegasan mengenai hak asasi politik dalam Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Hak asasi politik merupakan salah satu hak dasar warga negara di negara demokrasi, dan pelaksanaan hak ini dilakukan dengan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada warga negara untuk meng-engaged diri dalam pemerintahan. Karenanya, poin penting dalam memandang pemilu adalah pemilu merupakan sarana perwujudan hak asasi politik rakyat.8

PEMILU SERENTAK 2019

Awal Mula

Pemilu serentak merupakan gagasan yang diajukan oleh akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak pada 2013. Effendi Gazali dan koalisi memberikan gagasannya saat menggugat maraknya praktik politik transaksional serta tingginya biaya politik di penyelenggaraan pemilu Indonesia.

Gugatan itu dilayangkan terhadap Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 yang mengatur pemilihan presiden digelar setelah pemilihan legislative. Effendi berpandangan bahwa dari hasil semua advokasi publik dan penelitiannya, terdapat enam faktor yang secara signifikan menghambat kemajuan negara Indonesia, yakni:9

  1. POLITIK TRANSAKSIONAL yang terjadi berlapis-lapis (bertingkat-tingkat), umumnya antara Partai Politik dengan Individu yangberniat menjadi Pejabat Publik, serta antara Partai Politik untuk pengisian posisi Pejabat Publiktertentu. Dikaitkan dengan Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden & Wakil Presiden), POLITIK TRANSAKSIONAL BISA TERJADI 4 SAMPAI 5 KALI, yakni:
  1. Pada saat mengajukan calon-calon Anggota Legislatif; b) Pada saat mengajukan Calon Presiden & Calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential Treshold; c) Setelah diketahuinya hasil Putaran Pertama Pemilihan Umum Presiden (jika dibutuhkan      Putaran       Kedua);       d)       Pada       saat pembentukan kabinet; e) Pada saat membentuk semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian menjadi sejenis prototipe untuk koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi jabatan dan sebagainya;
  2. BIAYA POLITIK yang amat tinggi, mubazir, tidak dilaksanakan dengan transparan dan jujur oleh para pelaku dan donaturnya, serta tidak dapat diawasi dengan efektif oleh institusi yang berwenang melakukannya; Di dalamnya terdapat komponen biaya promosi/publikasi dan kampanye yang amat berlebihan (Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan bahwa untuk kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur telah dihabiskan biaya sekitar 1 Trilyun Rupiah; dalam acara “ILC” HUT TV One, 14 Februari 2013)
  3. POLITIK UANG YANG MERUYAK. Akibat Politik Transaksional diantara elit politik dan para calon pejabat publik disertai PENGHAMBURAN BIAYA POLITIK yang amat berlebihan, akhirnya berlanjut dengan strategi instan “membeli suara publik” dan hal ini pada sisi lain dilihat sebagai kesempatan oleh sebagian publik untuk juga melibatkan diri dalam POLITIK UANG (MONEYPOLITICS), baik untuk ikut serta dalam aneka acara kampanye danpencitraan maupun untuk menawarkan PILIHANNYA dalam suatu Pemilihan Umum
  4. KORUPSI POLITIK yang memperlihatkan fenomena (poros) Pembiayaan Politik Partai dikaitkan dengan Komisi dari Anggaran Proyek Kementerian dan Lembaga yang umumnya dibahas/diputuskan di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah. Sementara Pejabat Eksekutif menutupi biaya tinggi untuk transaksi memperoleh “tiket” atau “perahu” mengikuti Pemilihan Kepala Daerah, serta biaya pencitraan dan kampanye yang tinggi, dengan mengalokasikan proyek-proyek di daerahnya khususnya terhadap sumber daya alam-dengan nuansa praktik balas budi terhadap donatur atau praktik koruptif lainnya. Hal ini juga diperkuat dengan Pernyataan Tokoh Lintas Agama pada September 2012 yang menyebut dan mengaitkan korupsi politik sebagai akibat sistem pemilihan umum yang terjadi saat ini;
  5. TIDAK DITEGAKKAN ATAU DIPERKUATNYA SISTEM PRESIDENSIAL YANG SESUNGGUHNYA. Mahfud (1993) menyebutkan bahwa terdapat beberapa prinsip di dalam sistem Pemerintahan Presidensial, antara lain: (1) kepala negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif); (2) pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) karena parlemen dan pemerintah berkedudukan sejajar; (3) menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden; (4) eksekutif dan legislatif sama-sama kuat. Namun dalam pelaksanaanya, prinsip ke-4 ini sering disalahartikan sebagai kebutuhan Capres dan Cawapres terkait terhadap basis dukungannya dari DPR. Oleh karena itu, Capres dan Cawapres melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) dengan partai politik untuk mendapat dukungan. Padahal, tanggung jawab Presiden dan Wapres terpilih adalah kepada rakyat, bukan kepada parlemen. Eksekutif harus mengutamakan kepentingan rakyat, sekalipun itu bertentangan dengan mayoritas anggota perwakilan di parlemen. Selain itu, juga terdapat Presidential Coattail Effect yang akan diperoleh apabila dilakukan Pemilu Serentak. Presidential Coattail Effect berarti kecenderungan pemilih untuk memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya. Dengan demikian, Paslon pemenang Pemilu otomatis akan memiliki dukungan mayoritas di parlemen. Berhubungan dengan teori tersebut, terdapat juga teori Political Efficacy (Kecerdasan Berpolitik). Political Efficacy berarti kemampuan individu untuk menyampaikan pesan politik sesuai dengan struktur keyakinannya sendiri. Dengan kata lain, warga negara berhak untuk memilih secara cerdas pada Pemilu Serentak ini karena terkait dengan hak warga negara untuk membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial sesuai dengan keyakinannya sendiri.
  6. TIDAK DILAKSANAKANNYA PILKADA DALAM PEMILU YANG JUGA SERENTAK. Misal, dengan mengambil formula 0 – 2,5 – 5 tahun, kurang lebih 265 Pilkada bisa dilaksanakan serentak dengan Pilpres, Pileg (DPR pusat, tingkat 1, tingkat 2, dan DPD). Kemudian, kurang lebih 264 Pilkada lainnya bisa dilaksanakan 2,5 tahun kemudian. Siklus 265 Pilkada yang sudah jatuh tempo berikutnya dilaksanakan bersamaan dengan Pilpres dan Pileg 5 tahun selanjutnya. Dengan pelaksanaan Pemilu secara serentak, pemerintah dapat melakukan penghematan anggaran yang drastis, terutama dari pengurangan anggaran Pemilu. Selama ini, honor penyelenggara Pemilu merupakan komponen terbesar biaya Pemilu. Honor ini memakan hingga 65 persen dana Pemilu. Besarnya honor ini terkait jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia yang sangat banyak, yaitu mencapai 800 ribu TPS. Setiap TPS ini dijaga oleh tujuh orang Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan demikian, total jumlah KPPS ini sekitar 5,6 juta orang. Jika honor seorang petugas KPPS Rp500 ribu, maka total biaya yang dibutuhkan adalah Rp2,8 triliun. Jika dalam setahun diadakan Pilkada, Pileg, dan Pilpres secara terpisah, maka total anggaran untuk membayar honor KPPS adalah Rp8,4 triliun. Dengan pelaksanaan Pemilu secara serentak, biaya penyelenggaraan Pemilu dapat ditekan.

Gagasan pemilu serentak yang disampaikannya dinilai dapat mengefisiensikan anggaran, memangkas biaya penyelenggaraan pemilu hingga 65% anggaran. Pada tanggal 23 Januari 2014, MK kemudian mengabulkan gugatan serta gagasan ini melalui Putusan No. 14/PUU-XI/2013 serta memutuskan untuk melaksanakan Pemilu serentak pada tahun 2019 dan seterusnya. MK memutuskan perkara tersebut dengan tiga pertimbangan, yaitu; Pemilu Serentak akan mengurangi pemborosan waktu dan biaya serta mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat. Pemilu Serentak mengakomodir hak warga negara untuk memilih secara cerdas dengan membangun peta check and balances dari pemerintahan presidensial dengan keyakinannya sendiri. Kemudian, Pemilu Serentak juga meniadakan proses negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Amanat putusan MK ini kemudian ditetapkan DPR melalui UU Pemilu baru, yaitu UU No. 7 tahun 2017.10

Pemilu 2019 diselenggarakan untuk memilih sepasang Presiden Dan Wakil Presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Provinsi dan 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten. 11

EKSPEKTASI

Beberapa Harapan

Desas-desus pemilu serentak sebetulnya bukanlah hal yang baru terdengar belakangan ini. Ide dan gagasan penyelenggaraan pemilu serentak ini telah terdengar di Indonesia pasca penyelenggaraan Pemilu 2004. Asumsi yang dibangun salah satunya oleh pengamat politik dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, August Mellaz12, pada tahun 2007 mengatakan bahwa Pemilu di Indonesia terlalu ribet karena berlangsung berulang-ulang dan mengeluarkan biaya yang sangat besar. Menurutnya pemerintahan yang stabil dapat terwujud jika pemilihan eksekutif dan legislatif dilakukan secara serentak. Selain efisien, dengan pelaksanaan pemilu secara serentak akan menciptakan koalisi parpol yang permanen. Selain itu bermanfaat bagi penyederhanaan sistem kepartaian.

Jika melihat kembali kepada enam hal yang diutarakan Effendi Ghazali sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya maka ada beberapa harapan yang sesungguhnya memercik semangat untuk membuat sistem pemilu serentak. Harapan tersebut antara lain adalah:

  1. Efisiensi waktu dan biaya pemilu. Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.
  2. Berkurangnya praktik transaksi dan negosiasi politik yang dinilai lebih banyak bersifat sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Harapannya adalah Presiden tidak lagi tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Hal ini bertali berkelindan dengan harapan tergerusnya politik uang dan korupsi politik sebagai efek terusan dari praktek politik transaksional.
  3. Penguatan sistem presidensial yang diharapkan dapat terjadi dengan coattail effect.
  4. Penyederhanaan jumlah partai dengan adanya ambang batas parlemen sebesar 4%.

REALITA

Problematika

Hal yang dapat menggambarkan pemilu serentak kemarin ini adalah, “pemilu paling rumit di dunia.” Pemilu yang diselenggarakan pada 17 April 2019 ini bertujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, serta DPRD I dan DPRD II. Terdapat lebih dari 20.000 kursi yang diperebutkan oleh lebih dari 245.000 kandidat.13 Jumlah pemilih terdaftar meningkat dari pemilu sebelumnya menjadi 192.866.254 pemilih, yang terdiri dari 190.779.969 pemilih di dalam negeri dan 2.086.285 pemilih di luar negeri.14 Terdapat 810.193 TPS dengan kapasitas di masing-masing TPS sebanyak 300 pemilih. Akan tetapi, terdapat 2.24915 TPS yang tidak dapat melakukan pemungutan suara dikarenakan berbagai hal seperti keterlambatan distribusi logistik dan bencana alam.

Banyaknya jumlah pemilih, TPS, serta kandidat, singkatnya waktu ditambah dengan pemilihan Presiden yang diselenggarakan bersamaan dengan legislatif membuat pemilu 2019 ini menjadi kompleks. Kompleksitas ini pun bertambah rumit dengan berbagai dinamika yang ada. Berbagai potensi perpecahan, penyebaran hoaks, dan kecurangan membutuhkan pengamanan ekstra, menimbulkan tekanan psikologis, memakan energi, biaya, tenaga, bahkan nyawa.

Masalah lainnya adalah masalah distribusi logistik Pemilu Serentak. Distribusi semua logistik Pemilu ke seluruh penjuru kepulauan Indonesia jelas bukan merupakan suatu hal yang mudah. Kondisi geografis yang sangat beragam dan akses yang tidak merata membuat pekerjaan distribusi logistik Pemilu semakin sulit. Di banyak daerah terpencil, petugas distribusi logistik Pemilu harus berjalan kaki sejauh puluhan kilometer untuk mencapai lokasi TPS karena jalanan yang buruk. Kesulitan distribusi ini menyebabkan terhambatnya pelaksanaan Pemilu sehingga tidak dapat terlaksana dengan baik.

Alih-alih menghemat anggaran nyatanya ongkos pemilu serempak ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan ongkos pemilu sebelum-sebelumnya. Hal ini terbukti dari pengalokasian anggaran sebesar Rp 24,8 triliun untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2019. Alokasi anggaran ini naik 3 persen atau bertambah Rp 700 miliar dibanding biaya Pemilu dan Pilpres 2014 lalu yang mencapai Rp 24,1 triliun. Juga sebelumnya pada tahun 2018, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp 16 triliun. Selain membengkaknya ongkos pemilu, pelaksanaan pemilu serempak ini juga memakan waktu panjang dan melelahkan. Buntut panjang dari hal ini adalah banyaknya korban jiwa yang berjatuhan akibat kelelahan mengurus pagelaran akbar ini.16 Tentu saja, banyaknya korban jiwa juga menambah berat beban anggaran pemilu untuk kepentingan kompensasi bagi petugas-petugas yang meninggal dunia, cacat atau sakit. Angka yang dipaparkan diatas jika dikalikan dengan jumlah korban dari petugas tentu saja tidak lagi bisa dikatakan besar. Namun, sangat besar sekali. Dimana hematnya pemilu serentak 2019? Pertanyaan yang sangat sulit dijawab, karena nyatanya realita lapangan menunjukan hal yang sama sekali berkebalikan.

Terkait dengan politik transaksional yang kemudian membawa efek terhadap politik uang dan korupsi politik, dalam sebuah diskusi internal Prof. Dr. Susi Dwi Harijanti, LL.M., PhD mengatakan bahwa hal itu tidak dapat ditangani semata-mata dengan mengubah sistem pemilu. Justru harus satu paket dengan perbaikan pada sistem kepartaian. Bertali berkelindan dengan itu, sistem presidensial yang pada ekspektasinya hendak dikuatkan dengan perubahan sistem pemilu serentak (yang menggantungkan harap pada coattail effect ) tidak bisa menjadi kuat tanpa adanya kehendak untuk mengubah budaya politik presidensialisme yang sudah ada saat ini. Presidensialisme seharusnya mewujudkan jajaran kabinet yang berasal dari kalangan profesional. Namun budaya yang sekarang ada justru menunjukan anomali yang terlihat dengan begitu banyak menteri yang berasal dari unsur partai politik, bahkan ssalah satu menteri harus mengundurkan diri dari kabinet karena berasal dari partai yang berbeda koalisi dalam pilpres 2019. Ini belum termasuk temuan yang mengatakan bahwa hasil hitung cepat pemilu 2019 mengindikasikan efek ekor jas atau hubungan yang positif antara kekuatan elektoral calon presiden atau calon wakil presiden dan partai politik pendukungnya tak terlalu terlihat.17

Terkait dengan harapan penyederhanaan jumlah partai politik melalui ambang batas parlemen sebesar 4 persen juga tak nampak hasil yang signifikan. Alih-alih menyederhanakan, ambang batas parlemen justru hanya mampu untuk mencegah partai baru masuk parlemen. Ini karena nyatanya hanya satu partai yang tersisih dari partai eksisten, yakni Hanura.

Tragedi Kemanusiaan

Pemilu serentak ini tidak menggunakan teknologi elektronik. Pencoblosan dilakukan menggunakan tangan dan penghitungan suara dilakukan secara manual dengan tabulasi. Terdapat lima kotak suara yang penghitungannya harus dilakukan di TPS pada pukul satu siang pada hari yang sama. Proses pelaksanaan pemilu, mulai dari persiapan TPS sehari sebelumnya, pencoblosan hingga penghitungan dan rekapitulasi bisa memakan waktu lebih dari 48 jam berterus-terus dengan porsi istirahat minim bagi penyelenggara di tingkat KPPS.

Terdapat 5.965.038 petugas18 yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu dan hingga 7 Mei 2019, tercatat 554 di antaranya meninggal serta 3.788 lainya jatuh sakit.19 Bagi petugas yang meninggal, KPU memberikan Rp36 juta per orang. Sedangkan untuk petugas KPPS yang mengalami cacat, KPU memberikan bantuan sebesar Rp30,8 juta per orang, luka berat Rp16,5 juta per orang dan luka sedang Rp8,25 juta per orang.

Banyak KPPS yang meninggal saat melaksanakan tugas karena kelelahan dan jam kerja yang panjang. Hal ini dikarenakan peraturan dari KPU yang mengharuskan pemungutan dan penghitungan suara diselesaikan dalam satu hari. Kalaupun ternyata waktunya tidak mencukupi, para petugas KPPS tidak boleh pulang dan wajib menyelesaikan penghitungan suara selama 12 jam selanjutnya.

Data terbaru pada tanggal 11 Mei 2019 memperlihatkan lonjakan yang cukup siginifikan daripada data pada 5 hari sebelumnya. Jumlah seluruh petugas Pemilu 2019 yang meninggal menjadi 583 orang. Terdiri dari 469 petugas KPPS, 92 orang petugas pengawas dan 22 petugas keamanan. Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengatakan, selain KPPS yang meninggal, sebanyak 4.602 KPPS jatuh sakit saat bertugas.20

Dengan jumlah korban yang besar, pemilu serentak 2019 tak ubahnya sebuah tragedi kemanusiaan. Bagaimana mungkin suatu sistem pemilu yang diklaim lebih baik justru mengundang korban jiwa hingga ratusan orang meninggal dunia dan ribuan menderita sakit? Bagaimana mungkin pemilu sebagai wujud kedaulatan rakyat, tempat dimana rakyat (katanya) menyalurkan hak asasi politik justru sekaligus menjadi tempat dimana hak asasi atas hidup dari ratusan orang terenggut? Bagaimanapun dalih bahwa bukan sistem yang salah, melainkan perencanaannya yang salah sama sekali tak dapat diterima dengan kembali melihat jumlah korban yang ada. Jumlahnya bahkan melebih jumlah korban yang timbul dari aksi bom bali pada awal tahun 2000-an lalu. Pemilu serentak merupakan catatan kelam demokrasi sekaligus tragedi kemanusiaan yang sama sekali tak dapat dilupakan dari sejarah bangsa Indonesia.

Kejanggalan

Walaupun telah jelas terlihat dampak dari penyelenggaran pemilu serentak lima kotak dalam sehari pada 17 April 2019 ini, anehnya beberapa pihak dengan terangnya melakukan klaim bahwa pemilu serentak 2019 telah sukses dan harus disyukuri.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyampaikan, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 secara umum telah berjalan sukses, tertib, lancar, damai dan aman.21 Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto dengan bangganya mengklaim bahwa sudah 33 negara memberikan apresiasi atas suksesnya penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Wiranto mengatakan, apresiasi tersebut diberikan karena Pemilu Serentak 2019 menjadi ajang politik yang terbesar dan terumit di dunia. Menurutnya penyelenggaraan pemilu terbukti dapat terlaksana dengan aman, lancar, dan damai sehingga mendapatkan apresiasi dari 33 negara.22

Tak ketinggalan, DPD RI memberikan penilaian bahwa pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 berhasil, tertib, aman dan damai dengan evaluasi regulasi agar pelaksanaan pemilu ke depan lebih baik. Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang bahkan mengeluarkan statement bahwa pelaksanaan pemilu paling rumit dan terbesar di dunia yang baru dilaksanakan ini berhasil dan harus di apresiasi.

Siapa Tanggung Jawab?

“Lempar batu sembunyi tangan” sebuah ungkapan yang kerap dipakai untuk menggambarkan seseorang yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatan atau kesalahan yang telah diperbuat olehnya. Ungkapan yang cocok pula untuk menggambarkan kondisi para elite yang enggan mengakui kontribusinya dalam sengkarut pemilu serentak 2019. Justru saling tuduh yang nampak dari elit-elit pemangku kebijakan. Pertunjukan lempar batu sembunyi tangan yang secara sarkas menggambarkan perilaku pengecut elit-elit pemangku kebijakan.

Apa yang sukses dari sebuah sistem yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia? Karena berbagai faktor yang disebabkan penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan daerah, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sengkarut pemilu serentak tidak terlepas dari sistem pemilu serentak yang baru digelar tahun ini. Sebab, konsekuensi sistem ini membuat jam kerja petugas KPPS lebih panjang. Para petugas mesti menghitung ratusan, bahkan ribuan surat suara presiden-wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, dan DPD RI.

Sebagaimana lazimnya pemahaman mengenai sebuah sistem, ia merupakan satu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang saling berhubungan dan mempengaruhi tata kerja elemennya satu sama lain. Dengan pemahaman sederhana yang demikian itu, teranglah bahwa yang patut dipersalahkan atas sengkarut pemilu serentak bukan hanya satu pihak. Melainkan seluruh pihak yang membuat sistem pemilu serentak 5 kotak dalam sehari ini lolos sebagai sebuah sistem yang harus dilaksanakan.

Setidaknya ada tiga pihak yang patut bertanggung jawab atas sengkarut pemilu serentak 2019, yakni:

  1. KPU

KPU dalam kapasitasnya memang memiliki peran sebagai pelaksana kebijakan (policy executor). Dalam batasan ini, KPU tidak dapat dipersalahkan atas lolosnya sistem pemiluserentak yang tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. KPU secara sederhana hanya menerima sistem yang telah disusun itu untuk kemudian ia laksanakan. Gerak-gerik KPU dalam pelaksanaan Pemilu terbatas pada regulasi dan batasan yang tertuang dalam UU Pemilu. Namun hal yang tidak boleh diabaikan adalah KPU memiliki kapasitas pula sebagai pembuat kebijakan (policy maker) dalam hal peraturan-peraturan pelaksana. Dalam kapasitasnya tersebut, KPU telah lalai membuat sebuah sistem standarisasi yang tepat untuk memastikan petugas KPU di setiap jenjangnya memiliki kualitas yang baik secara jasmani maupun rohani. Pengawasan terhadap rekrutmen KPPS misalnya sangat minim. Tidak ada pengawasan terhadap batasan usia, pemeriksaan kesehatan petugas, standar fasilitas TPS untuk memastikan petugas tidak kelelahan dan kekurangan asupan gizi ketika bertugas dan lain sebagainya. Padahal KPU memiliki mekanisme simulasi pemungutan dan perhitungan serentak, namun mekanisme ini gagal dimanfaatkan oleh KPU untuk mendeteksi potensi masalah yang timbul dala pemilu lima kotak dalam sehari. Pada titik ini, KPU tetap berkontribusi atas jatuhnya ratusan korban jiwa dan ribuan lain yang terkena sakit.

2. MK

Menyalahkan MK atas semrawutnya sistem pemilu serentak, barangkali memang menjadi hal yang aneh. MK bagaimanapun sesuai kewenangannya hanya melakukan pengujian konstitusionalitas norma undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dalam hal ini, MK hanya melakukan interpretasi atas konstitusionalitas suatu norma. Sehingga anggapan bahwa MK harus dipersalahkan karena mengabulkan permohonan adalah hal yang sangat bias, apalagi hingga menyalahkan MK karena tak menjelaskan teknis pemilu serentak lima kotak itu seperti apa dan bagaimana. Hal ini jelas tidak dilakukan MK karena berusaha menghindarkan diri dari praktek positive legislator. Menjadi lebih absurd lagi adalah menyalahkan pemohon yang mengajukan pengujian ke MK, sudah jelas menguji uu terhadap uud adalah hak yang dimilliki oleh setiap warga negara selama memiliki standing yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Namun, bagaimanapun MK tetap ikut terlibat dalam skema lolosnya sistem pemilu serentak 2019. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bahkan mengaku ikut berdosa lantaran turut memutuskan dilakukan pemilihan umum (Pemilu) secara serentak. Ia mengakui penyelenggaraan Pemilu

2019 merupakan yang tersulit di dunia.23 Letak kesalahan MK adalah abai mempertimbangkan dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Maria Farida. Menurut Maria, secara delegatif, UUD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk UU (DPR dan presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan pilpres serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu. Dengan demikian, menjadi kebijakan hukum terbuka pembentuk UU untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilu, termasuk dalam penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain.24

3. DPR dan Presiden (Pemerintah)

Skema pemilu serentak sebenarnya ditentukan pemerintah dan DPR. Bagaimanapun pemilu serentak berpayung hukum UU No.7 Tahun 2017. Undang-undang merupakan produk legislasi yang dibahas bersama-sama antara DPR dan Presiden (Pemerintah). Keduanyalah yang pada dasarnya bertanggung jawab betul atas sistem pemilu serentak yanng tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2017 tersebut. DPR dan Presiden (Pemerintah) ah yang berperan sebagai the real policy maker. DPR seperti dikatakan Hakim Konstitusi Maria Farida dalam dissenting opinion-nya mengatakan bahwa rumusan mekanisme terbaik tata cara pemilu menjadi kebijakan terbuka bagi pembentuk UU. Pembentuk UU tiada lain adalah DPR dan Presiden (Pemerintah). DPR misalnya membentuk aturan di UU Nomor 7 tahun 2017 yang menyebabkan petugas kelelahan. Misalnya, batas anggota KPPS 7 orang dan penghitungan di TPS harus selesai sebelum berganti hari. Kontribusi Presiden adalah baik secara langsung ataupun diwakili oleh jajaran pemerintahannya ikut serta dalam pembahasan UU Pemilu. Lebih dari itu, Presiden dalam konteks UU No 7 Tahun 2017 itu juga memberikan pengesahan UU Pemilu No 7 Tahun 2017 yang menjadi dasar dan landasan pemilu. Tak berhenti disana, tanggung jawab Presiden bukan hanya karena ia mensahkan UU Pemilu, namun sesuai dengan kapasitasnya Presiden juga merupakan penanggung jawab atas pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Indonesia sebagai negara Presidensil menjadikan presiden sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan. Pemilu dengan segala atributnya bagaimanapun merupakan bagian daripada mekanisme dalam berjalannya roda pemerintahan, khususnya dalam pergantian kepemimpinan.

SIKAP

  1. Turut berduka atas gugurnya 583 orang serta jatuh sakitnya 4.602 orang petugas pada pelaksanaan pemilu serentak 2019. Peristiwa tersebut adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak patut terulang di kemudian hari. Pelaksanaan atas suatu hak asasi, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan hak asasi lainnya, apalagi hak untuk hidup.
  2. Mendesak DPR dan Presiden dalam kapasitasnya sebagai pembentuk Undang-Undang, juga Presiden sebagai kepala pemerintahan, untuk bersama-sama menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada seluruh lapisan rakyat Indonesia atas gagalnya pelaksanaan pemilu serentak 2019, selambat-lambatnya pada tanggal 20 Mei 2019.
  3. Mendesak KPU agar segera menyelesaikan proses pemberian kompensasi dengan seadil-adilnya kepada para korban meninggal dunia dan terdampak sakit saat bertugas pada pelaksanaan pemilu 2019.
  4. Menuntut MK untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam memberikan putusan di masa yang akan datang, terutama yang memiliki potensi pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
  5. Menuntut pemangku kebijakan untuk melakukan evaluasi total atas gagalnya pelaksanaan pemilu serentak 2019 agar tragedi kemanusiaan yang sama tidak lagi terulang di masa yang akan datang.

PUSTAKA

PUSTAKA

Agnes Theodora dan Iksan Mahar, “Efek Ekor Jas Pemilu 2019 Tidak Optimal”, Kompas, 2019, https://kompas.id/baca/utama/2019/04/22/efek-ekor-jas-pemilu-2019-tidak-optimal/

Arfianto Purbolaksono, “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”, The Indonesian Institute, 2019,

BBC, “Pesta Sudah Dimulai: Yang Perlu Anda Ketahui Soal Pemilu 2019”, 2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45618212

CNN, “Banyak Petugas KPPS Meninggal, Ketua MK Akui Ikut Berdosa”, CNN Indonesia, 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190423004429-32-388668/banyak-petugas-kpps-meninggal-ketua-mk-akui-ikut-berdosa

CNN, “KPU: 2.249 TPS Tak Bisa Lakukan Pemungutan Suara Pemilu 2019,” CNN Indonesia, 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190417234033-32-387468/kpu-2249-tps-tak-bisa-lakukan-pemungutan-suara-pemilu-2019

CNN, “Total 554 Orang KPPS, Panwas Dan Polisi Tewas Di Pemilu 2019” CNN Indonesia, 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190507084423-32-392531/total-554-orang-kpps-panwas-dan-polisi-tewas-di-pemilu-2019.\

Detik, “Biar Efektif, Harusnya Pemilu Diserentakkan”, 2007,

https://news.detik.com/berita/861989/biar-efektif-harusnya-pemilu-diserentakkan

Dian Erika dan Bambang Noroyono, “Petugas KPPS Meninggal Capai 583 Orang”, Republika, 2019, https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/praoso440/petugas-kpps-meninggal-capai-583-orang

Fajlurahman Jurdi, “Pengantar Hukum Pemilihan Umum”, Jakarta: Kencana, 2018

Fitria Chusna Farisa, “Jumlah Pemilih Pemilu 2019 Bertambah Jadi 192.866.254,” Kompas,

2019, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/08/21501411/jumlah-pemilih-pemilu-2019-bertambah-jadi-192866254

Ihsanuddin, “Beda Pendapat, Hakim Maria Farida Tolak Pemilu Serentak”, Kompas, 2014, https://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1728343/Beda.Pendapat.Hakim.Maria.Fa rida.Tolak.Pemilu.Serentak

International Foundation for Electoral System, “Elections in Indonesia 2019 Concurrent Presidential and Legislative Elections,” 2019.

International Institute Democracy and Electoral Assistance (International IDEA),

Compulsory Voting”,  https://www.idea.int/data-tools/data/voter-turnout/compulsory-

voting

PUSTAKA

Agnes Theodora dan Iksan Mahar, “Efek Ekor Jas Pemilu 2019 Tidak Optimal”, Kompas, 2019, https://kompas.id/baca/utama/2019/04/22/efek-ekor-jas-pemilu-2019-tidak-optimal/

Arfianto Purbolaksono, “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”, The Indonesian Institute, 2019,

BBC, “Pesta Sudah Dimulai: Yang Perlu Anda Ketahui Soal Pemilu 2019”, 2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45618212

CNN, “Banyak Petugas KPPS Meninggal, Ketua MK Akui Ikut Berdosa”, CNN Indonesia, 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190423004429-32-388668/banyak-petugas-kpps-meninggal-ketua-mk-akui-ikut-berdosa

CNN, “KPU: 2.249 TPS Tak Bisa Lakukan Pemungutan Suara Pemilu 2019,” CNN Indonesia, 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190417234033-32-387468/kpu-2249-tps-tak-bisa-lakukan-pemungutan-suara-pemilu-2019

CNN, “Total 554 Orang KPPS, Panwas Dan Polisi Tewas Di Pemilu 2019” CNN Indonesia, 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190507084423-32-392531/total-554-orang-kpps-panwas-dan-polisi-tewas-di-pemilu-2019.\

Detik, “Biar Efektif, Harusnya Pemilu Diserentakkan”, 2007,

https://news.detik.com/berita/861989/biar-efektif-harusnya-pemilu-diserentakkan

Dian Erika dan Bambang Noroyono, “Petugas KPPS Meninggal Capai 583 Orang”, Republika, 2019, https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/praoso440/petugas-kpps-meninggal-capai-583-orang

Fajlurahman Jurdi, “Pengantar Hukum Pemilihan Umum”, Jakarta: Kencana, 2018

Fitria Chusna Farisa, “Jumlah Pemilih Pemilu 2019 Bertambah Jadi 192.866.254,” Kompas,

2019, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/08/21501411/jumlah-pemilih-pemilu-2019-bertambah-jadi-192866254

Ihsanuddin, “Beda Pendapat, Hakim Maria Farida Tolak Pemilu Serentak”, Kompas, 2014, https://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1728343/Beda.Pendapat.Hakim.Maria.Fa rida.Tolak.Pemilu.Serentak

International Foundation for Electoral System, “Elections in Indonesia 2019 Concurrent Presidential and Legislative Elections,” 2019.

International Institute Democracy and Electoral Assistance (International IDEA),

Compulsory Voting”,  https://www.idea.int/data-tools/data/voter-turnout/compulsory-

voting

Lowy Institute , “Indonesia’s Incredible Elections – Lowy Institute”, 2019,

https://interactives.lowyinstitute.org/features/indonesia-votes-2019/#scroll-item-5

. Pratma, Aswab Nanda, “Rekam Jejak Pemilu dari Masa ke Masa”, 2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/08/06/15380041/rekam-jejak-pemilu-dari-masa-ke-masa?page=all

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. https://www.bphn.go.id/data/documents/7.7._perkara_nomor_14-puu-2013_23_jan_2014_pemilu_presiden_(.pdf

Sahbani, Agus. “MK Putuskan Pemilu Serentak Tahun 2019’, 2019, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52e131d88b072/mk-putuskan-pemilu-serentak-tahun-2019

Sarah Hutagaol, “Mendagri: Kesuksesan Pelaksanaan Pemilu 2019 Harus Kita Syukuri

Bersama”, Okezone, 2019,

https://news.okezone.com/read/2019/04/28/605/2048928/mendagri-kesuksesan-

pelaksanaan-pemilu-2019-harus-kita-syukuri-bersama

Susanti, Afriani, “Pemilu Srentak 2019 Pertama di Indonesia Sepanjang Sejarah”, 2019, https://www.idntimes.com/news/indonesia/afrianisusanti/pemilu-serentak-2019-pertama-di-indonesia-sepanjang-sejarah,

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Yudha, “Wiranto Klaim 33 Negara Apresiasi Atas Suksesnya Pemilu Serentak 2019”, 2019, https://akuratnews.com/wiranto-klaim-33-negara-apresiasi-atas-suksesnya-pemilu-serentak-2019/