Oleh: Hafiza Putri Sukmana

Saat ini, banyak lembaga-lembaga swasta serta beberapa biro lainnya yang sudah menyelenggarakan pendidikan untuk special needs children atau dikenal masyarakat dengan sebutan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Lembaga pendidikan tersebut sebagian besarnya diperuntukkan untuk anak dengan Autism Spectrum Disorder. Namun, pendidikan yang diperuntukkan khusus untuk kategori disabilitas lainnya seperti ADHD/Attention Deficit Hyperactivity Disorder (anak dengan kesulitan memusatkan perhatian dan hiperaktif), dyslexia (anak dengan kesulitan membaca dan mengeja), dysgraphia (anak dengan kesulitan menulis), dyscalculia (anak dengan kesulitan mempelajari hitungan dan angka), dan gangguan sejenisnya masih belum tersedia di Indonesia.

Di samping itu, terdapat sebuah program pendidikan yang bernama sekolah inklusi. Apa itu sekolah inklusi? Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus sebagai siswa yang sama dengan anak-anak lainnya. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus. Sekolah inklusi ini telah diterapkan dan disetujui oleh banyak negara untuk diimplementasikan dalam rangka mengurangi diskriminasi antara anak berkebutuhan khusus dan anak pada umumnya dalam bidang pendidikan. Dalam program sekolah inklusi, sekolah mendapat tuntutan untuk menyediakan kebutuhan dan fasilitas tertentu, contohnya ruang sumber (kelas yang digunakan khusus untuk membantu ABK dalam menunjang kebutuhan-kebutuhannya), buku-buku khusus, reglet untuk anak tunanetra, tongkat panjang dan tongkat lipat, dan alat bantu pembelajaran lainnya. Dalam kenyataannya, fasilitas-fasilitas tersebut belum tersedia secara merata pada setiap sekolah inklusi di Indonesia. Di kelas pun maksimal hanya bisa diisi oleh dua orang ABK.

Selain itu, sekolah juga perlu menyediakan dan mengadakan guru pendamping yang secara khusus bertugas melayani sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak, yang disebut shadow teacher. Untuk membayar guru pendamping inilah yang biasanya sekolah tidak mampu. Bicara soal sumber daya dan kompetensi guru pendamping pun masih dirasa kurang optimal. Banyak guru pendamping yang masih mengalami kesulitan dalam proses pengajaran karena memerlukan banyak keterampilan khusus dan kesabaran dalam menjalani prosesnya. Menurut data penelitian dari BPMTPK tahun 2016 mengenai pemahaman guru sekolah dasar di Jawa Timur terkait pembelajaran inklusi menunjukkan 51% guru dengan latar belakang pendidikan non PLB (Pendidikan Luar Biasa) merasa kurang memahami strategi pembelajaran inklusi dan hanya 3% yang merasa sudah sangat memahami konsep pendidikan inklusi. Selain itu, guru pendamping khusus (shadow teacher) merasa telah memahami pendidikan inklusi sebesar 80% dan yang sudah sangat memahami hanya sebesar 8%. Hal ini menjadi masalah yang perlu diperhatikan saat bicara soal pendidikan inklusif di Indonesia. Peran pemerintah sangat diperlukan sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya yang berkompeten di sekolah inklusi.

Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya diberikan untuk warga negara yang “normal”, tetapi juga untuk warga negara yang memiliki kebutuhan khusus seperti yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat (2) yang berbunyi “warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Perkembangan pendidikan anak berkebutuhan khusus di Indonesia ini masih terbilang sangat kurang. Bahkan menurut data terakhir Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2017: baru sebesar 18% dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus yang mendapat layanan inklusi pendidikan. Kembali lagi, orang tualah yang saat ini perannya masih jauh lebih besar dalam mendidik anaknya yang berkebutuhan khusus. Bagi mereka yang kondisi ekonominya menengah ke atas, hal tersebut tidak akan menjadi masalah karena masih terbilang mampu untuk membayar guru pendamping khusus di sekolahnya atau bahkan untuk datang ke rumahnya. Namun, bagi orang tua yang tidak mampu, hal tersebut akan menjadi hal yang cukup berat karena untuk mendidik anak disabilitas itu pasti prosesnya sangat sulit dan berbeda.

Sangat disayangkan, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia saat ini belum benar-benar diperhatikan. Masih banyak orang tua yang kesulitan untuk menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus di sekolah umum. Memang, jika bicara soal penyandang ketunaan, sudah banyak sekolah khususnya di Indonesia yang disebut SLB atau Sekolah Luar Biasa. Namun, SLB ini tetap ada peruntukkannya sendiri-sendiri. SLB-A untuk tunanetra, SLB-B untuk tunarungu, SLB-C untuk tunagrahita, dan seterusnya. Anak berkebutuhan khusus juga harus diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang bebas dan diberikan lingkungan belajar yang sifatnya tidak membatasi serta disediakan lingkungan yang memberikan mereka kesempatan yang seluas-luasnya secara emosional, mental, dan sosial untuk mendapat peran di masyarakat. Mereka harus diinteraksikan dengan anak-anak “normal” lainnya agar membantu mereka berdiri sejajar di masyarakat dan juga untuk memotivasi mereka agar tetap percaya diri. Mari kita pastikan no one will be left behind karena nasib masa depan mereka adalah tanggung jawab kita semua.

 

DAFTAR PUSTAKA

BPMTPK 2016, Studi Kelayakan Pengembangan Model Media Video Pembelajaran Tutorial untuk Guru SD Inklusi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sidoarjo.

Maulipaksi, D 2017, Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung Pendidikan Inklusi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi (diakses pada 02 Mei 2020).

Pengelola Siaran Pers 2019, Kemendikbud Ajak Daerah Tingkatkan Pendidikan Inklusif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/07/kemendikbud-ajak-daerah-tingkatkan-pendidikan-inklusif (diakses pada 27 Mei 2020).

Santrock, JW 2015, Life-Span Development 15th edition, McGraw-Hill, New York.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (2).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2).