Oleh Inas Zulfa Sulasno
Pandemi ini telah memperlihatkan kepada kita betapa semakin terpuruknya ruang sipil di Indonesia. Ditandai dengan dalih-dalih keadaan darurat yang membuat para penggiat HAM terutama masyarakat sipil tidak bisa bergerak secara leluasa karena semakin menyempitnya ruang gerak bagi mereka, sehingga seolah-olah negara mengabaikan pemenuhan hak sipil bagi masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus seperti para buruh yang bekerja di salah satu Indomaret, Jakarta Barat yang menuai berbagai aksi spontannya akibat pemotongan THR 50% oleh perusahaan secara sepihak, pengkerdilan kebebasan berpendapat melalui kritik bahkan dianggap sebagai suatu berita hoax dan penghinaan kepada penguasa. Adanya persoalan singkat diatas kerapkali menghadirkan pemerintah yang seolah-olah bertindak reaktif terhadap kritik yang dilakukan oleh masyarakat dalam menyuarakan hak-haknya.
Bertajuk Pandemi, bagaimana dengan nasib buruh?
Bertajuk kepada kasus-kasus seperti nasib buruh selama pandemi, sebut saja AB yang merupakan anggota PT. Indomarco Prismatama atau yang kerap disapa Indomaret ditangkap polisi setelah melakukan protes akibat pemotongan THR oleh perusahaan sebesar 50% yang berlokasi di Indomaret, Pandemangan, Jakarta Barat. Tidak tercapainya suatu kesepakatan antara pihak buruh dengan perusahaan, namun perusahaan tetap memberikan THR 50% secara sepihak kepada para buruh. padahal , berdasarkan hasil negosiasi pertama dengan pihak perusahaan, akan diselenggarakannya negosiasi yang kedua untuk membahas persoalan tersebut. Kondisi ini membuat para buruh yang bekerja di Indomaret tersebut melakukan serangkaian aksi spontan. Sehingga membuat AB ditangkap oleh Polres Jakarta Barat. Berdasarkan pemaparan LBH Jakarta adanya negosiasi tersebut sebenarnya membahayakan para buruh yang tidak mempunyai bargaining power di hadapan perusahaan.
Pengkerdilan Kebebasan Berpendapat Mencuatkan Kritik dan Penghinaan Kepada Penguasa
Beranjak kepada kasus pengkerdilan “kebebasan berekspresi” yang disampaikan oleh seorang mantan TNI bernama Ruslan Buton yang kemudian ditangkap oleh aparat kepolisian Sulawesi Utara. Pada saat itu, Ruslan mengunggah suatu video yang meminta Presiden Joko Widodo untuk mundur dan menyampaikan kritikan kepada pemerintah terkait dengan tata kelola selama pandemi. Adapun, Kasus yang baru-baru mencuat ini seperti pengumuman lomba mural yang dibungkam pada Rabu, 15 September 2021 yang digelar sebagai bentuk menyuarakan kesulitan hidup dan terutama mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo dan pemerintah kemudian dihapus oleh pemerintah setempat, sedangkan spanduk-spanduk besar dengan wajah politikus yang bertajuk omong kosong justru bertebaran tanpa batas.
Urgensi Kebebasan Sipil Di Masa Pandemi Sebagai Bentuk Re-eksaminasi Wajah Demokrasi di Indonesia
Berangkat pada kasus-kasus diatas bahwa setidaknya ada beberapa hal yang menjadi indikator kebebasan sipil patut dipelihara oleh pemerintah diantaranya kebebasan sipil masyarakat dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat secara leluasa merupakan “surya” bagi negara hukum guna untuk mengontrol pemerintah. Ekspresi dan pendapat yang sebenarnya disampaikan secara baik oleh masyarakat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pemerintahan yang demokratis ini. Dalam tatanan negara hukum, pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mampu dan memiliki keberanian dalam mengoreksi kesalahan dimulai dari kebijakannya. Hal tersebut dipertegas dengan Pasal 19 ICCPR atau yang sering disapa dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang pada intinya menyatakan “ freedom of expression shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds……. Or through any other media of his choice…. Be subject to certain restrictions.”selain itu, ekspresi merupakan bentuk pengembangan diri yang tertuang pula dalam Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 yang pada intinya menyampaikan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan dipertegas dengan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Adanya pemberangusan kebebasan berpendapat dalam kasus-kasus diatas mengakibatkan minimnya keterlibatan masyarakat sebagai kenyataan dalam suatu pemberangusan. Hal ini bukanlah suatu yang sepele dan patut menjadi perhatian yang mengandung makna bahwa kebebasan berpendapat bukan hanya berkenaan dengan penyampaian pendapat saja tetapi berhubungan erat juga dengan akses pengutaraan pendapat. Berbagai persoalan yang justru mengekang kebebasan sipil merupakan wujud pengurangan hak selama masa darurat covid-19. Adanya beberapa hal yang kemudian harus dicermati yaitu asas proporsionalitas yang dinilai dilanggar oleh pemerintah yang memberikan keharusan terhadap tindakan pengurangan HAM yang seharusnya dapat digunakan selama ada justifikasi dan diperlukan serta penilaian yang objektif. Justru sebagai bentuk efektivisasi penanganan covid-19 yang sebenarnya bergantung juga pada kesadaran masyarakat dalam melakukan aktivias sehari-hari. Hal tersebut dapat berhasil, apabila penyempitan kebebasan berpendapat dan represifitas dikurangi bahkan dihilangkan. Justru dengan adanya tindakan yang anarkis dan represif dari pemerintah hanya akan “memotong surya” bagi kesadaran masyarakat.
Sehingga perlunya re-eksaminasi wajah demokrasi yang lebih memperjuangkan kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi masyarakat. Pemerintah juga dinilai lalai dalam melakukan penilaian yang objektif dengan dalih keadaan darurat selam pandemi dan membuka pintu yang besar berkenaan dengan pembungkaman kritiksasi dengan menggunakan “jaring-aman” penghinaan terhadap presiden. Hal tersebut dapat dilihat pada kasusnya Ruslan Buton dan pembuatan karya mural yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan pemerintah. Adanya berbagai desakan dan respon yang diberikan oleh masyarakat sipil yang sebenarnya sudah diakomodir oleh Presiden kepada masyarakat. Adanya hal ini tentunya menggunakan kerja keras dari masyarakat sipil dalam memenuhi haknya terutama di masa pandemi. Perlunya re-eksaminasi justru agar pemerintah dapat merespon dan memberikan tindakan yang baik atas kritiksasi dari masyarakat sipil secara proporsional dan objektif. Pada prinsipnya, di masa pandemi ini masyarakat sipil tidak seharusnya dianggap sebagai musuh bagi pemerintah seperti penggunaan kondisi darurat, yang mengandung makna bahwa pemerintah harus bisa memberikan bukti adanya keonaran atau keributan didalam masyarakat tersebut yang memang perlu diberlakukannya kedaruratan tersebut.
Perlunya re-eksaminasi wajah demokrasi dalam hal menggunakan tindakan yang proporsional sebenarnya dilakukan dengan maksud menghindari penyalahgunaan kekuasaan selama masa pandemi. Agaknya kita harus berkaca pada salah satu kasus yang mempertontonkan kondisi demokrasi Hungaria yang hampir hilang sebagai dampak penyalahgunaan kekuasaan di masa pandemi bahwa adanya suatu regulasi kedaruratan yang dianggap sebagai cara dalam menangani pandemi namun digunakan dalam membuat wewenang yang absolut juga menghapuskan kewajiban parlemen untuk memberlakukan decree. Hal tersebut dapat menjadi cerminan bagi kita bahwa perlunya kejelasan waktu dalam menetapkan status kedaruratan sehingga negara tidak masuk ke dalam “hole” yang lebih dalam sebagai bentuk otoritarianisme. Sehingga, adanya suatu kesimpulan bahwa penegakkan regulasi yang lebih bersifat menghukum daripada mengoreksi bukan merupakan amanah dari cita-cita bangsa, minimnya dasar hukum yang tepat dan penyebaran informasi yang sensitif hanya akan menambah kekhawatiran masyarakat yang kalang-kabut menghadapi pandemi ini.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar 1945
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
David Hamer.(2004). Can Responsible Government Survive in Australia?. The Department Of Senate. 21-22.
Sheng, Wang Huei. 2020. Coronavirus disease 2019 (covid-19): Journal of Internal Medicine of Taiwan 31, no. 2. 61–66.
Egi Adyatama. 2021. Mural Dihapus Aparat, Gejayan Memanggil: Perlawanan Akan Terus Bergema. Diakses dari: https://nasional.tempo.co/read/1506493/mural dihapus-aparat-gejayan-memanggil-perlawanan-akan-terus-bergema
Komisi Nasional HAM Republik Indonesia. 2021. Masa Pandemi Covid-19 Perlu Lebih Banyak Ruang Ekspresi. Diakses dari: komnasham.go.id/index.php/news/2021/5/17/1784/masa-pandemi-covid-19-perlu lebih-banyak-ruang-berekspresi.html
Guterres, Antonio. 2021. We are all in this Together: Human Rights and COVID-19 Response and Recovery | United Nations. Diakses dari: https://www.un.org/en/ un coronavirus-communications-team/we- are-all-together-human-rights-and-covid 19- response-and.
CNN Indonesia. 2020. Jejak Kasus Ruslan Buton, Mantan TNI yang Minta Jokowi Mundur. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200603140156- 12-509451/jejak-kasus-ruslan-buton-mantan-tni-yang-minta-jokowi-mundur