Oleh: Muhammad Rafi Irsyad

Konstruksi NKRI sebagai suatu keutuhan yang menghimpun beragam perbedaan untuk menciptakan hakikat persatuan yang kuat telah direpresentasikan oleh klausul Bhinneka Tunggal Ika. Bentuk kemerdekaan telah menggelontorkan aspirasi dan cita-cita rakyat Indonesia untuk bersatu sebagai hakikat manunggal menumpas antek-antek pemecah belah NKRI dengan memadukan keragaman yang dimiliki Indonesia. ¾ abad Indonesia telah berjalan atas independensinya namun mirisnya belum optimal ranah mutu kesejahteraan yang masih sporadis mewarnai nusantara. Berbagai kebijakan digelontorkan sebagai upaya pemantik pembangunan yang egaliter dan menjorok ke segala penjuru daerah yang salah satunya dikiatkan dengan Otonomi Khusus. Runtuhnya rezim orde baru memiliki implikasi signifikan terhadap konstelasi politik nasional. Transisi tersebut merebak ke segala penjuru daerah yang salah satunya merupakan daerah papua yang dikala itu memiliki lumbung dinamika politik yang kompleks. Hal tersebut tidak lain dilandasi oleh kekecewaan dan kelirihan masyarakat papua yang cenderung dieksploitasi serta legitimasi yang selama ini tidak relevan dengan azas kebutuhan dan kepentingan dari masyarakat Papua sendiri. Aspek tersebut menjadi gagasan pendukung antusias dari masyarakat Papua menyuarakan aspirasi di lapangan untuk menarik atensi publik Papua untuk mengingatkan kembali muara kesejahteraan yang patut dijunjung tinggi dan difasilitasi oleh pemerintah. Namun, tidak seluruhnya ambisi aspirasi tersebut bermuara pada frekuensi yang sama yakni pembenahan, sebagian elemen yang sudah terlalu letih terhadap konstelasi politik yang termarjinalkan memilih jalan lain dengan mengemukakan kemerdekaan Papua dibawah otonomi dan kuasa dari Papua sendiri tanpa adanya Intervensi dari pemerintah.[1]

Pemerintah mengambil langkah tanggap dengan mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus Papua yang berperan sebagai konfirgurasi kompromi politik serta menumpas gerakan Papua merdeka dengan memberikan mandat laju legitimasi kepada masyarakat Papua selaku subjek fundamental dari implementasi kebijakan yang ramah kepentingan konstituen. Muatan-muatan tersebut tertuang pada Pasal 1 Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU No. 35 Tahun 2008:

  1. a. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  1. b. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.[2]

Muatan diatas menjadi arah haluan bahwa otonomi khusus Papua diserahkan oleh pemerintah kepada provinsi Papua untuk mengurus serta mengatur kebijakan yang ramah kepentingan masyarakat Papua menurut prakarsa dan aspirasi hak-hak dasar masyarakat setempat.[3] Kebijakan tersebut menjadi pamungkas dan bahan evaluasi yang dimana Papua selalu diproyeksikan sebagai wahana ekploitasi kekayaan dengan wacana-wacana klise yang digelontorkan oleh elit politik kekuasaan serta meminimalisasi dan mengejar ketertinggalan pembangunan nasional yang selama ini haluannya dipegang oleh pemerintah pusat secara sentralistik yang menjadi faktor pembangunan pendidikan, ekonomi masih sangat sporadis dan belum dirasakan kesejahteraannya oleh kaum subordinat yang kerap kali kepentingannya dimarjinalisasi.

Otonomi Khusus papua mendelegasikan beragam badan yang membuka perpaduan komposisi dari berbagai tokoh penting dan leluhur masyarakat Papua sebagai expert yang mendalami dan mengetahui dinamika dan kepentingan hak ulayat Papua yang dijadikan konsideran utama dalam menimbang suatu kebijakan yang berporos pada implikasi hak dan kewajiban masyarakat Papua. Diantaranya adalah pembentukan Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, serta perangkat pemerintahan lainnya yang disisipkan komposisi dari tokoh adat, tokoh agama, serta tokoh perempuan sebagai indikator keseimbangan kebijakan yang akan direalisasikan. Pemberlakuan Otonomi Khusus diharapkan dapat berimplikasi signifikan proses delibrasi keputusan strategis berada pada tingkat pemerintah daerah yang seyogyanya lekat dan telah memetakan hal-hal prioritas penyeimbang antara manfaat dan maslahat. Dengan begitu kesempatan mendirikan instansi dan badan pembantu lainnya yang bertujuan menyokong kesejahteraan publik Papua akan lebih dinamis terkait tidak perlunya birokrasi pertimbangan untuk dibawa ke pusat. Maka tidak heran, Otonomi Khusus Papua wacananya telah menggelontorkan dana yang fantastis untuk melepas belenggu stagnansi masyarakat Papua dan upaya menjaga keutuhan integrasi nasional. Namun dibalik dicenangkannya dan dijalankan kebijakan ini, dinamika yang berkembang memiliki arah indikasi isu etnosentrisme serta mencuatnya praktik politik representasi kalangan elit Papua. Hal tersebut dipicu oleh politik identitas yang merujuk pada primordial yang tumbuh dan digiring kepada hakikat paradoks. Segelintir kaum elit terselubung menginterpretasikan Otonomi Khusus sebagai instrumen untuk menjalarkan maksud kehendak politik yang didasari oleh sentimen kepentingan pribadi.  Hal tersebut dapat diproyeksikan dengan permohonan persoalan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua harus memiliki darah, nasab, dan orang Papua secara langsung.[4]  Hal ini memicu kontroversi dengan mempertimbangkan hak kontestasi yang dimiliki oleh semua individu berdasarkan beberapa ketentuan.

Fenomena politik etnosentrisme pula semakin ekstrim dengan representasi dari sejumlah kelompok elit yang dicenangkan melalui perjuangan pengatasnamaan rakyat dan cita-cita yang sama melalui operasi linguistik yang sejatinya kebijakan dan muara politik tersebut tidak lebih dari ambisi dan sentimen pribadi yang dikemas dengan inklusif mungkin seketika menarik empati masyarakat Papua. Azas penderitaan tersebut dipantik kembali dari refleksi intimidasi saat rezim orde baru yang terkesan menginjak dan memarjinalkan suara rakyat. Resepsi dari masyarakat akan timbul emosional dan dendam permanen yang ditransformasikan sebagai sebuah manifesto kebijakan yang didasari sentimen etnis. Politik identitas tersebut membangun karakter primordial yang digiring kepada kepentingan pribadi dengan mengandalkan atasnama rakyat. Bila representasi ditarik sudut pandang dari cultural studies, maka akan menilik pada kedudukan realitas yang dikonstruksi sebuah  dominated power. Fenomena tersebut dapat digambarkan dari maraknya ajang kampanye elite politik yang mengklaim bahwa pengusungan tersebut berangkat dan akan bermuara pada kepentingan rakyat. Pada praktiknya, kebijakan yang digelontorkan jauh dari kepentingan rakyat dan janji-janji politik yang diutarakan yang cenderung akan berlabuh pada kepentingan pribadi atau kepentingan politik yang menaunginya. Upaya yang dijalankan juga tidak tanggung-tanggung berupa mobilisasi massa untuk mendukung kedudukan mereka dengan menyodorkan materi kepada mereka sebagai ganjaran. Hingga pada akhirnya kerap kali massa aksi dan demonstrasi yang bergerak merupakan manifesto aksi yang termodifikasi dalam mengartikulasikan kepentingan yang dipikul hanyalah kepentingan politik belaka. Hal ini yang menjadi sebab mengapa belum adanya kebijakan pamungkas yang dapat direalisasikan sesuai harapan karena politik-politik yang hanya dijadikan sebagai manuver peraih sentimen emosional pribadi.[5] Aspirasi-aspirasi yang sesungguhnya dari masyarakat subordinat hanya dijadikan sebagai wahana kontestasi. Dengan kebijakan dan konstelasi politik yang tertera rasanya jauh dari cita-cita demokrasi yang diharapkan. Aspirasi demokrasi yang didistribusikan tidak lain hanya sekedar instrumen kontestasi. Aspirasi demokrasi yang wacananya diwakilkan pada akhirnya bermuara pada politik manajerial daya ekonomi politik yang aspirasi suara mereka akan kembali dimarjinalkan.

Hal ini perlu menjadi concern oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bersangkutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika tersebut berkembang karena azas kekecewaan dan kekuatiran akan terulangnya insiden serupa. Pemerintah perlu melakukan pendekatan yang inklusif dan masif untuk memberikan pengertian menjaga keutuhan NKRI dengan kebijakan yang ramah semua kepentingan.  Beragam aspirasi dan masukan perlu dijadikan tinjauan utama untuk merevitalisasi kebijakan yang bermuara pada kepentingan mereka secara riil. Pemerintah tidak boleh tutup kuping dan tebal kulit mengutamakan ego politik semata untuk menjalankan kebijakan yang digelontorkannya kendati mengetahui maraknya argumen dan konfrontasi yang bertebaran. Evaluasi tersebut perlu diprioritaskan sebagai langkah menjaga keutuhan integrasi nasional sebagai cita-cita negara yang diproklamirkan merepresentasikan keresahan bersama.[6] Hakikat nusantara terdiri dari seluruh entitas tanpa terkecuali yang menjadi landasan kaum subordinat sekecil apapun patut dijadikan konsideran kepada muara kebijakan. Kaum-kaum subordinat perlu diberikan panggung wahana pengutaraan keresahan secara langsung oleh stakeholders agar tidak kembali rawan ditunggangi kepentingan. Pemerintah daerah setempat juga perlu mengerti kontekstualisasi kebijakan dan lapang untuk berkoordinasi membicarakan teknis kebijakan yang disepakati oleh konstituen. Kanal refrendum  untuk memerdekakan dan memisahkan dari NKRI bukanlah sebagai jalan solusi untuk meredam dan memperbaiki masalah. Bhinneka Tunggal Ika menjadi klausul yang dijunjung tinggi dalam bernegara dan berbangsa  untuk tetap maju dalam satu haluan mengatasnamakan perjuangan Indonesia sebagai tuan dan kiblat utama bersama.


[1] Dr.Stepanus Malak M.si “ Otonomi Khusus Papua” Ar-raafi

[2] Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

[3] Diana Kusumasari “Masalah Otonomi Khusus Papua” dapat diakses pada https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e8c3cabba8dc/masalah-otonomi-khusus-papua/

[4] MKRI “Putra Papua Persoalkan Syarat Kepala Daerah Harus Orang Asli Papua” dapat diakses pada https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=13069#:~:text=Pasal%2012%20UU%20Otsus%20Papua,%3B%20d.%20Berumur%20sekurang%2Dkurangnya

[5] Leefan,Nugroho, Mudiono “ Etnosentrisme dan Politik Representasi di Era Otonomi Khusus Papua”

[6] Muhammad Akbar “ Pemerintah Pusat Diminta Evaluasi Pelaksanaan Otsus Papua” dapat diakses pada https://republika.co.id/berita/qkk6nu480/pemerintah-pusat-diminta-evaluasi-pelaksanaan-otsus-papua